
Tantangan Perempuan Dinamis, Butuh Terus Diperjuangkan
Kab-jepara.kpu.go.id - Konstruksi gender sebenarnya sudah ada pada masa Politik Etis atau Politik Balas Budi di era pemeritahan kolonial Hindia Belanda (1901-1942) dan salah satu tokoh terkenal pada masa itu adalah RA Kartini yang menentang feodalisme dan menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Di masa kini, perjuangan terkait kesetaraan perempuan dan laki-laki masuk ke dalam isu-isu yang strategis di berbagai sendi kehidupan. Hal tersebut diungkapkan oleh Siti Nurwakhidatun, anggota KPU Kabupaten Jepara, ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan yang hadir sebagai narasumber dalam acara Latihan Kader Dasar (LKD) Pimpinan Cabang Fatayat NU segmentasi Pimpinan Anak Cabang Kecamatan Kalinyamatan, Sabtu (19/2) Acara yang diselenggarakan di gedung MWC NU Kalinyamatan Jepara ini dilaksanakan selama dua hari dengan mengambil tema Pengkaderan sebagai Pilar Terbentuknya Organisasi dalam Membentuk Kader Militan, Berdaya Guna dan Berakhlakul Karimah. Dalam kesempatan yang sama, Siti Nurwakhidatun juga menambahkan bahwa setelah perjuangan kemerdekaan, pergerakan perempuan tidak pernah berhenti. “Banyak bermunculan pergerakan perempuan yang mengusung tema khas perempuan seperti perbaikan gizi, menentang poligami, menuntut kesamaan hak perempuan dan laki-laki dan membangun jejaring perempuan secara internasional. Selain itu juga mengangkat tema umum seperti isu pendidikan, kesehatan, kepemimpinan perempuan sebagai ketua partai politik atau menjadi pejabat negara,” paparnya. Ia juga menyebutkan bahwa demokratisasi di Indonesia, setelah Reformasi 1998 telah membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilam kebijakan. Salah satu andil perempuan dalam perjuangan demokrasi di era reformasi adalah adanya Konggres Perempuan Indonesia yang digelar oleh LSM perempuan pada 14-22 Desember 1998 di Yogjakarta. Konggres ini memunculkan gerakan afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. “Sebenarnya kesetaraan hak sudah dicapai, tinggal memperkuatnya dengan mengikis budaya patriarki yang masih melekat kuat di Indonesia,” kata dia. Siti Nurwakhidatun menjelaskan, tantangan bagi perempuan sangat dinamis dan akan selalu muncul. Perjuangan harus terus dilakukan agar benar-benar terwujud kesetaraan yang pada akhirnya perempuan tidak akan termarjinalkan dalam berbagai kebijakan publik yang dihasilkan. “Dalam hal ini, afirmative action tidak hanya berdiri pada kuantitas tetapi juga harus memperhatikan kualitas. Untuk itu perempuan harus selalu meningkatkan kualitas, kapasitas dan kapabilitasnya agar bisa membela kepentingan perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan,” jelas Siti. (kpujepara)